Senin, 03 Oktober 2011

Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Penanggulangan Bencana .


Saat bencana gempa dan tsunami terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004,
tidak banyak orang yang tahu apa yang sebetulnya terjadi. Badan
Meteorologi dan Geofisika hanya mencatat gempa dengan kekuatan 6,5
skala richter (9 skala richter menurut US Geology Service). Media
massa baru tersadar betapa dahsyat musibah yang terjadi pada beberapa
jam kemudian. Ketika Banda Aceh dan wilayah lainnya di Propinsi NAD
tersapu tsunami yang mengerikan.Keterlambatan ini akibat putusnya hampir seluruh infrastruktur
telekomunikasi. Listrik padam, telepon tidak dapat digunakan. Baru
beberapa hari kemudian listrik dan telepon dapat berfungsi secara
terbatas. Baik karena kerusakan maupun hilangnya para karyawan
perusahaan penyedia fasilitas umum tersebut.
Pers sebenarnya cukup cepat memasuki Banda Aceh untuk melakukan
peliputan. Namun terkendala pengiriman data, baik teks, gambar,
apalagi video. Proses pengiriman gambar dan data harus melalui kurir.
Media fisik dibawa ke kota terdekat, Medan dan baru dikirimkan secara
digital ke seluruh penjuru dunia.





Perlahan, infrastruktur telekomunikasi di Banda Aceh dipulihkan.
Telkom, Indosat/Satelindo, Telkomsel berupaya keras memperbaiki
jaringan mereka. Namun, prioritas utamanya adalah voice, terutama
dengan teknologi wireless (GSM/CDMA) yang relatif lebih cepat
diselenggarakan dan mampu melayani wilayah yang luas, untuk
menggantikan sebagian besar jaringan kabel yang hancur.
Bila akses voice bisa cepat diselenggarakan, tidak demikian dengan
transmisi data. Terbatasnya kapasitas saluran adalah isu yang
menyulitkan pengiriman data. Sementara, di abad informasi ini, suara
saja tidaklah cukup untuk menampilkan kondisi Aceh yang sesungguhnya.
Karena sebagian besar media telah berbasiskan teknologi dan media
digital. Mereka membutuhkan transmisi data, utamanya melalui Internet.
Akses Internet melalui saluran telepon kabel (DOV - Data Over Voice)
dirasakan lamban karena kapasitasnya sangat terbatas. Sementara akses
broadband seperti ADSL/HDSL jelas tidak tersedia karena hancurnya
kabel primer Telkom dan juga keterbatasan jalur (trunk) link backbone
ke luar Aceh.
Alternatif transmisi data menggunakan telepon satelit kapasitasnya
hanya 2,4 kbps. Jelas tidak mencukupi, sementara teknologi lain juga
tidak mungkin diselenggarakan dalam waktu singkat, misalnya fiber
optik. Sehingga pilihan paling memungkinkan adalah menggunakan
teknologi VSAT (Very Small Apperture Terminal) sebagai backbone
digabungkan Wireless LAN (WLAN) untuk distribusi domestik.
Pertanyaannya, seberapa cepat fasilitas VSAT dibangun dan apakah
pendukungnya tersedia (pasokan listrik, SDM dan mobilitas)? Sebuah
VSAT portable berukuran dish 2.4 m mampu mentransfer data hingga T1/
1,5 Mbps (mega bits per seconds). Dilengkapi perangkat terminal akses
notebook dan pasokan daya dari generator 500 VA, beratnya hanya
sekitar 500 kg termasuk 2 teknisi. Mobilitas cukup dilayani sebuah
mobile unit atau diangkut oleh helikopter. Instalasi hanya memerlukan
waktu kurang dari 4 jam.
Dengan teknologi ini, di daerah yang terpencil dan minim fasilitas
sekalipun akses Internet dapat terselenggara dengan cepat.
Keterbatasan pasokan daya, misalnya, tidak akan menghalangi transmisi
karena internet dapat diaktifkan secara intermittent, periodik, on
demand atau tidak harus terkoneksi 24 jam. Fasilitas ini dapat
berhemat dengan cara penggunaan hanya pada saat dibutuhkan saja yang
bisa dijembatani dengan metode penjadwalan manual sehingga mampu
bertahan selama 1 minggu dengan BBM 25 liter.
Banyak yang mempertanyakan kegunaan Internet dalam situasi semacam
ini. Orang seringkali tidak menyadari Internet adalah muara besar
yang menghimpun aplikasi digital. Internet adalah wujud konkrit
konvergensi teknologi. Internet mampu melakukan transmisi informasi
dan data interaktif, termasuk menyelenggarakan kebutuhan
telekomunikasi dasar (voice) melalui teknologi VOIP (Voice Over
Internet Protocol). Bencana Aceh pada sisi lain membawa hikmah,
teknologi internet terbukti mampu menyebarkan data dan informasi
secara digital ke seluruh penjuru dunia secara cepat bahkan real time
dalam bentuk multimedia.
Penanganan bencana di Aceh dan Sumut merupakan pekerjaan sangat
besar. Ini adalah bencana terbesar sepanjang sejarah Republik
Indonesia, bahkan dalam sejarah dunia karena meliputi hampir seluruh
kawasan Asia Selatan dan mencapai Afrika. Lebih 200 ribu korban dan
ratusan ribu pengungsi, masalah logistik, penyaluran bantuan menjadi
hal yang sangat vital. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bantuan dari
seluruh dunia, hanya bertumpuk di sudut Bandara Halim ataupun Polonia
dan juga di Iskandar Muda. Meskipun bantuan terus mengalir dan di
lapangan banyak pos pengungsian yang kekurangan logistik. Ini
menandakan kekacauan pada manajemen logistik dan distribusi.
Penggunaan sistem informasi harus diterapkan dalam penanganan bencana
ini. Dengan sistem informasi yang baik, dapat dilakukan penentuan dan
prioritas distribusi bantuan ke daerah yang tepat serta jenisnya.
Bantuan bisa mengalir dengan merata, tidak tertumpuk hanya di salah
satu pos distribusi.
Sistem ini bisa memprediksi jumlah bantuan yang dibutuhkan di tiap
titik distribusi, berdasarkan data pengungsi yang ditampung.
Perbedaan jenis kelamin, usia, akan turut membedakan barang yang
harus dikirimkan. Tempat pengungsian yang dihuni banyak wanita, tentu
lebih banyak membutuhkan keperluan wanita, sementara tempat yang
banyak menampung bayi, tentu akan membutuhkan susu dan makanan bayi.
Termasuk kuantitas, jenis obat dan layanan medik yang diperlukan.
Keterbatasan transportasi pun bisa diatasi dengan memberlakukan
penjadwalan yang akurat untuk setiap kepentingan mobilitas operasi
kemanusiaan. Karena data yang tersaji bisa menunjukkan prioritas
kebutuhan, maka dengan mudah otoritas transportasi baik udara, laut,
darat dan domestik menentukan siapa yang harus segera dimobilisasi,
apa jenis dan jumlah barang yang harus dikirim menggunakan alat
transportasi yang paling sesuai.
Sistem informasi penanggulangan bencana bisa digunakan juga untuk
pendataan korban dan pengungsi. Banyak orang dari seluruh pelosok
Indonesia berduyun-duyun berusaha terbang ke Aceh, hanya untuk
mencari informasi keselamatan keluarga atau kerabat. Ini menghambat
proses pengiriman relawan dan bantuan, transportasi udara ataupun
darat yang sangat terbatas dengan cepat tersaturasi. Ini tidak perlu
terjadi apabila arus informasi dari Aceh bisa dipublikasikan luas
dengan basis identifikasi yang jelas (nama, jenis kelamin, umur,
alamat dst. status korban), yang terupdate real time dari waktu ke
waktu.
Salah satu hal yang juga dapat dilakukan dengan sistem informasi ini
adalah pencarian keluarga yang hilang. Banyak anak yang terpisah dari
orang tuanya, dan dipelihara di pos pengungsian seperti layaknya anak
yatim piatu. Banyak orang tua yang mencari anaknya, karena saat
bencana terjadi, terpisah dan entah di mana keberadaannya. Pendataan
pengungsi yang akurat, bisa menjembatani terpisahnya keluarga-
keluarga ini. Mereka tinggal mencari pada data tabulasi, berdasarkan
nama, tanggal lahir, ataupun asal desa. Data P4B yang dimiliki oleh
KPU dan BPS bisa dijadikan data awal untuk membangun sistem informasi
ini.
Tentu saja data ini memerlukan analisa dan verifikasi yang bisa
dilakukan sejak dari pos terdepan yang terdiri dari para relawan
selaku operatif yang langsung bersinggungan dengan masyarakat korban
bencana. Data selanjutnya ditabulasi di data center daerah setiap
hari untuk ditampilkan secara online di Internet dan langsung bisa
dikutip oleh media (feeding). Hasil tabulasi ini bisa digunakan pula
oleh semua intansi terkait untuk menentukan prioritas kontingensi
masing-masing. Sehingga seluruh kekuatan bantuan bisa bekerja secara
sinergis, tidak terjadi overlap yang berlebihan.
Data yang tersaji detail juga akan meningkatkan kredibilitas dan
akuntabilitas keseluruhan operasi kemanusiaan ini terutama dihadapan
dunia internasional. Otoritas tanggap darurat dapat melakukan
kegiatan public relation melalui konferensi pers yang lebih simpatik
dan percaya diri, karena memiliki basis data yang akurat, bukan hanya
berdasarkan angka namun juga statistik detail.
Sistem informasi ini perlu ditunjang infrastruktur data yang harus
bisa dibangun cepat dan ekonomis. Selain VSAT , salah satu pilihan
yang bisa dipakai adalah teknologi wireless local area network
(Wireless Lan). WLAN memungkinkan terwujudnya jalur-jalur data dengan
radius 10 km. Titik-titik penting seperti bandara, pelabuhan, pos
pengungsian, kantor-kantor LSM dan NGO yang terlibat dalam
penanggulangan bencana dapat dihubungkan sehingga dapat melakukan
interkoneksi akses data dan pertukarannya, selain untuk menginput
data yang mereka miliki.
Bencana Aceh memang sudah lewat. Namun kepedihannya masih akan terus
terasa. Proses penanggulangan Aceh mungkin masih akan memakan waktu
beberapa bulan ke depan, bahkan mungkin lewat dari waktu 1 tahun.
Jika sistem yang bisa menangani bencana ini belum tersedia,
sekaranglah saatnya untuk memulai pembuatan sistem ini. Diperlukan
kerjasama tim yang baik, mulai dari sistem analis, programmer, ahli
database, dan ahli jaringan. Saatnya komunitas IT tidak hanya duduk
dan mendengar setiap berita demi berita, namun juga berbuat untuk
menyiapkan sistem yang bisa digunakan. Bukan berharap, namun bencana
bisa jadi terjadi lagi. Dan saat itu sebaiknya kita sudah siap.